Kamis, 05 Juli 2012

teori adler

Alfred Adler
Riwayat Hidup

Alfred Adler lahir di Viena pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1937 di Aberden, Scotland, dalam rangka perjalanannya selaku lector. Ia menerima Medical Degree pada tahun 1895 dari University of Viena.

Pada awal mulanya ia mengambil bidang spesialisasi Opthamology, dan setelah beberapa lama melakukan praktek di bidang medis, iapun menjadi seorang psikiatris. Adler menjadi seorang anggota kehormatan dari Viena Psychoanalitic Society, dimana kemudian menjabat selaku presidennya. Selanjutnya Adler segera mengembangkan ide-idenya yang berbeda dengan pandangan Freud dan anggota lainnya di Viena Society, dan saat perbedaan tersebut semakin tajam, ia menguji pandangan-pandangannya di masyarakat. Hal tersebut dilakukannya pada tahun 1911 dan sebagai konsekuensi dari kritik-kritik serta tantangan yang dilancarkan terhadap posisi Adler oleh para anggota Society yang lain, Adler segera meletakkan jabatannya selaku presiden dan selang beberapa bulan kemudian iapun memutuskan hubungan dengan Psikoanalisa Freudian (Colby, 1951; Jones, 1955; HL & Ansbacer, 1956). Iapun kemudian membentuk kelompok tersendiri dan selanjutnya dikenal sebagai Individual Psychology, yang memiliki banyak pengikut di seluruh dunia.

Selama pecah perang dunia pertama, Adler mengabdikan diri sebagai Physician pada angkatan bersenjata Austria, dan setelah perang selesai, ia mulai tertarik akan masalah Child guidance dan lalu membuat klinik bimbingan yang pertama dalam kaitannya dengan sistem sekolah yang berlaku di Viena. Iapun memberi gagasan akan pembuatan sekolah eksperimental di Viena, yang menerapkan teori-teorinya dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1935 Adler berdomisili di Amerika, dan melanjutkan prakteknya sebagai Psikiater, juga bertindak selaku Profesor dari Medical Psychology pada Long Island College of Medicine. Adler adalah seorang yang kaya akan tulisan dan mempublikasikan ratusan buku serta artikel-artikel semasa hidupnya. Buku The practice and Theory of individual Psychology (1927) mungkin penjadi introduksi yang terbaik dari teori Adler tentang ikhwal kepribadian (personality). Penyusunan yang lebih ringkas dari pandangan-pandangan Adler ditulis dalam Psychologis of 1930 dan dalam International Journal of Individual Psychology (1935). Heins & Rowenan Ansbacher belakangan ini telah mengedit dan mencatat lanjutan-lanjutan yang diseleksi dari tulisan-tulisan Adler (1956), dan inipun merupakan sumber terbaik dari informasi tentang Adler Individual Psychology. Phillys Bottone telah pula menulis suatu biografi tentang Adler (1939). Ide-ide Adler disebarluaskan di Amerika oleh The American Society of Individual Psychology, yang memiliki cabang-cabang di New York, Chicago dan Los Angeles dan penyebarannya dilakukan lewat The American Journal of Individual Psychology.

Berbeda halnya dengan asumsi utama dari Freud, bahwasanya tingkah laku itu didasari oleh instink-instink bawaan, serta aksioma yang prinsipiil dari Jung, dimana dikatakan bahwa manusia itu bertindak sesuai dengan arketipe-arketipe bawaan, maka asumsi Adler yang pertama adalah bahwa manusia itu didasari oleh motif-motif utamanya, yakni dorongan-dorongan sosial (social urges). Manusia adalah kesatuan makhluk sosial. Ia menciptakan relasi dengan manusia lain, mengikatkan diri dalam aktifitas sosial secara bersama-sama, meletakkan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi, serta menciptakan suatu gaya hidup (style of life) yang berorientasi kepada masalah kehidupan sosial. Adler tidak mengatakan bahwa manusia itu menjadi socialized  hanya karena keterlibatannya dalam proses-proses sosial; minat-minat sosial tersebut adalah hasil bawaan walaupun tipe relasi dengan orang lain serta pranata sosial yang berkembang tersebut ditentukan oleh bagaimana alam dari masyarakat yang berlaku di tempat individu itu dilahirkan.

Pada sisi lain, sama halnya dengan Freud dan Jung dalam pandangan biological. Ketiga asumsi mereka sama-sama beranggapan bahwa manusia itu memiliki alam kesatuan yang membentuk kepribadiannya. Freud menekankannya pada masalah sex, sedangkan Jung pada masalah pola-pola berfikir primordial (primordials thought paterns) dan Adler sendiri menekankannya kepada minat-minat sosial (social interest). Penekanan-penekanan pada masalah sosial sebagai penentu tingkah laku, hal mana yang telah diabaikan oleh Freud dan Jung mungkin merupakan sumbangan utama Adler yang terbesar kepada teori Psikologi. Iapun mengalihkan perhatian dari para psikolog akan pentingnya variabel-variabel sosial serta membantu pengembangan lapangan dari psikologi sosial, pada saat psikologi sosial membutuhkan dukungan-dukungan khususnya dari jajaran psikoanalisa.

Sumbangannya yang kedua dari Adler adalah konsep tentang The creative self. Berbeda halnya dengan konsep Ego dari Freud yang merupakan suatu proses psikologis yang bertugas melayani instink-instink bawaan. Maka self dari Adler merupakan taraf kepribadian yang tinggi, sebagai sistem subyektif yang menginterpretasikan dan membuat pengalaman-pengalaman organisme menjadi berarti. Lebih lanjut lagi adalah mencari pengalaman-pengalaman yang akan membantu pemenuhan gaya hidup individu yang unik; dan apabila pengalaman-pengalaman tersebut tidak ia temukan di dunia, maka The Self akan menciptakannya. Konsep tentang creative self ini, merupakan hal baru dalam teori psikoanalisa Freud dan ini menolong dalam mengkompensir obyektivism yang ekstrim terhadap psikoanalisa klasik, yang hampir lebih menekankan pada kebutuhan biologis dan stimulus-stimulus luar dalam memperhitungkan suatu dinamika kepribadian.

Persembahan ketiga dari Adler yang juga memberi pemisahan jelas dari psikoanalisa klasik, adalah penekanan pada uniknya personality. Adler beranggapan bahwa setiap manusia memiliki bentuk-bentuk unik dari motif, traits, dan interest serta nilai-nilai, setiap tindakan yang ditampilkan merupakan pencerminan dari Style of Life yang tersendiri. Di dalam hal ini Adler mengikuti pendapat W. James dan W. Stern, yang disebut sebagai peletak dasar dari pada Personalitic Psychology.

Teori Adler tentang manusia tampaknya mengabaikan instink sexual yang bagi Freud memiliki peranan eksklusif dalam dinamika tingkah laku. Terhadap Monologue Freudian tentang sex, Adler menambahkan pendapatnya bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial, dan bukannya ciptaan sexual. Ia dimotivisir oleh minat-minat sosial, bukan oleh minat-minat sexual. Perasaan rendah diri bukanlah disebabkan oleh keterbatasan dalam ikhwal sex yang dimiliki, namun memang bisa meluas pada segi-segi kehidupannya, baik fisik maupun psikologis. Ia berusaha mengembangkan suatu style of life yang unik, dimana masalah dorongan sexual hanya memainkan peranan yang kecil. Pada kenyataannya, cara dimana ia memuaskan kebutuhan sexualnya akan ditentukan oleh style of life dan bukannya sebaliknya. Akhirnya Adler membuat kesadaran sebagai pusat dari personality. Manusia adalah makhluk yang sadar, ia menyadari alasan-alasan dalam bertingkah laku. Ia sadar akan kekurangannya dan sadar akan tujuan yang ingin dicapainya. Lebih lanjut lagi, ia adalah individu yang sadar akan dirinya, yang mampu merencanakan serta mengarahkan tingkah lakunya, dan dengan kesadaran penuh akan artinya, guna realisasi dirinya sendiri. Hal ini merupakan antithesa bagi teori Freud yang menurunkan masalah kesadaran menjadi hanya sebagai sebagian dari suatu keseluruhan, hanya merupakan buih mengambang di dalam lautan ketidaksadaran yang maha luas.

Konsep-konsep Utama  Teori Adler

Alfred Adler, seperti halnya teoritikus kepribadian lainnya, yang memiliki latar belakang pendidikan medis dan melakukan praktek psikiatris, juga mengawali teorinya dalam bidang psikologi abnormal. Ia merumuskan teori tentang neurosis sebelum memberi garis besar pandangan teoritisnya akan kepribadian yang normal, yang terjadi pada tahun 1920 (H.L dan R.R. Ansbacher).

Teori kepribadian dari Adler, merupakan tinjauan ekonomis yang ekstrim, dimana beberapa konsep dasar menjadi penopang seluruh struktur teori. Dalam hal ini titik-titik pancang Adler dapat dibagi dalam beberapa hal, antara lain :

Tujuan akhir yang khayali (Fictional Finalism).
Perjuangan menuju keunggulan (Striving for Superiority).
Perasaan rendah diri dan pelampiasan (Inferiority Feeling and Compensation).
Minat-minat sosial (Social Interest).
Gaya hidup (Style of Life).
Aku yang kreatif (Creative Self).
Tujuan akhir yang khayali (Fictional Finalism).

Singkatnya, setelah Adler melepaskan diri dari pengaruh Freud, ia merasa berada di bawah pengaruh filosof dari Hans Vaihinger dengan bukunya Psychology as if (1925) yang dipublisir tahun 1911. Vaihinger mempertanyakan dan memasalahkan bahwa manusia itu hidup dengan banyaknya ide-ide yang fiktif, yang sesungguhnya bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Beberapa fictions, antara lain seperti ‘setiap orang diciptakan sama’, ‘kejujuran adalah kebijaksanaan terbaik’ dan ‘tujuan menghalalkan cara’, memungkinkan manusia berhubungan secara lebih efektif dengan realitas. Semua ini adalah konstruk pembantu atau asumsi-asumsi belaka, dan bukanlah merupakan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji kebenarannya. Mereka baru dapat bebas dari hal itu, apabila kegunaan-kegunaannya hilang.

Adler mengambil alih doktrin filsafat ini tentang positivisme idealistis dan lalu merancang dalam designnya. Freud, bila dibandingkan, meletakkan penekanan utama pada faktor-faktor konstitusi dan pengalaman-pengalaman selama awal kehidupan sebagai penentu dari kepribadian. Adler menemukan dalam tulisan Vaihinger bahwa suatu tangkisan terhadap penentuan histories yang rigid tersebut, ia menemukan ide bahwasanya manusia itu lebih dimotivisir oleh harapan-harapan akan masa depan daripada oleh pengalaman masa lalunya. Tujuan ini tidak muncul di masa depan sebagai suatu design yang teologis, baik Adler maupun Vaihinger berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang akan dituju atau fasilitas – agaknya mereka menampilkan subyektifitas atau mentalitas disini dan sekarang merupakan perjuangan atau idealis yang mempengaruhi tingkah laku saat itu.  Apabila seorang individu berkeyakinan, sebagai contoh bahwa ada suatu sorga bagi orang-orang yang mulai dan neraka bagi yang berdosa, maka dapatlah diambil suatu pre asumsi, bahwa hal ini akan mempengaruhi tindakannya. Hal inilah tujuan yang fiktif bagi Adler, penyebab subjektif dari even-even psikologis.

Sama seperti Jung, Adler mengidentifisir teori Freud dengan prinsip kausalitas dan teorinya sendiri sebagai finalism principle.      Individual Psychology insists absolutely on the indispensability of finalism for the understanding of all psychological phenomena. Causes, powers, instincts, impulses and the like cannot serve as explanatory principles. The final goal alone can explain man’s behavior. Experiences, traumata, sexual development mechanism cannot yield an explanation, but the        perspective in which these are regarded. The individual way of seeing them, which subordinates all life to the final goal, can do so (1930, p.400).

Goal terakhir itu mungkin bersifat fiktif, yakni suatu ideal yang tidak mungkin terealisir namun tetap mendorong usaha manusia kesana dan merupakan penjelasan akhir akan tindakannya. Adler berpendapat, bagaimanapun juga, individu yang normal tersebut dapat membebaskan dirinya dari pengaruh fiktif dan menghadapi realita di saat menjadi tuntutan kewajiban, sesuatu yang justru bagi orang neurotis adalah tak mungkin dilakukan.

Perjuangan menuju keunggulan (Striving for Superiority).

Apa yang menjadi arah tujuan akhir dari semua usaha manusia, memberikan suatu konsistensi serta keunikan dari personality. Pada tahun 1908, Adler menyimpulkan bahwa agresi itu lebih penting daripada sexualitas, dan impuls agresif didasari oleh keinginan berkuasan (will to power).  Adler mengidentifisir power dengan maskulinitas dan weakness dengan femininitas. Ini menjadi salah satu taraf pemikirannya (circa, 1910) yaitu suatu bentuk kompensasi yang berkelebihan (over compensation), yang mana baik pria maupun wanita sama-sama mengalaminya sebagai akibat dari perasaan-perasaan inadekuat dan inferior.

Akhirnya Adler mengalihkan konsep will to power menjadi striving for superiority. Dengan demikian tingkatan dalam pemikirannya mengenai the final goal manusia, yaitu menjadi agresif, berkuasa, dan menjadi superior. Adler memperjelas lagi bahwa superioritas yang ia maksudkan bukan berarti perbedaan dalam masalah sosial, kepemimpinan atau suatu posisi yang terbaik di masyarakat, maksud Adler agaknya analog dengan konsep dari Jung tentang self atau mungkin prinsip dari Goldstein, perihal self actualization. Ini mencakup pengertian akan usaha menuju kesempurnaan. Ini merupakan the great upward drive. I began to see clearly in every psychological phenomenon the striving for superiority. It runs parallel to physical growth and is an intrinsic necessity of life it-self. It lies at the root of all solutions of life’s problem’s and is manifested in the way in which we meet these problems. All our functions follow its direction.

Darimana asal mula striving for superiority ataupun perfection itu ? Menurut Adler hal tersebut adalah hasil bawaan, itu merupakan bagian kehidupan bahkan pada kenyataannya, hal itu adalah hidup itu sendiri. Dari lahir sampai mati, perjuangan untuk keunggulan itu membawa manusia dari suatu tingkatan perkembangan kepada tingkatan yang lebih tinggi. Hal itu merupakan potensi awal suatu prinsip yang dinamis. Dalam hal ini tidak ada dorongan yang terpisah-pisah, setiap dorongan akan menerima powernya dari perjuangan untuk sempurna. Adler mengakui bahwa perjuangan menuju keunggulan akan dimanifestasikan di dalam beribu-ribu cara yang berbeda, dan setiap individu memiliki model konkrit yang tersendiri dalam mencapai atau mencoba mencapai kesempurnaan. Untuk orang neurotis, sebagai contoh, perjuangan mencapai self esteem, power, dan self aggrandizement (perluasan diri), dengan kata lain adalah untuk tujuan-tujuan egoistis ataupun selfish, sedangkan individu normal akan berjuang untuk tujuan-tujuan sosial. Tepatnya bagaimana bentukan dari perjuangan akan keunggulan itu terlibat dalam diri individu? Sebagai ikhtiar untuk menjawab pertanyaan ini, akan baik sekali meninjau konsep Adler tentang perasaan-perasaan rendah diri (inferiority feelings).

Perasaan rendah diri dan pelampiasan (Inferiority feeling and compensation).

Pada awal sekali dari kariernya, sewaktu ia masih berminat dalam bidang medis umum, Adler mengeluarkan ide tentang organ inferiority dan over compensation (1917). Pada saat itu ia berminat dalam menemukan jawaban akan pertanyaan yang terus menerus tentang manusia, mengapa mereka menjadi sakit atau tertimpa musibah, sakit dan celaka pada salah satu bagian dari organ tubuh.

Salah seorang menderita sakit jantung, yang lainnya paru-paru, dan ada pula yang menderita sakit pinggang. Adler yakin bahwa alasan yang menentukan penyakit pada bagian tersebut adalah basic inferiority akan bagian itu, suatu kekurangan yang muncul kerena bawaan atau karena suatu perkembangan yang abnormal. Ia kemudian mengobservasi bahwa individu yang mempunyai kekurangan dalam salah satu organ tubuhnya, akan mengkompensir kelemahan tersebut dengan memperkuatnya lewat suatu latihan yang intensif. Sebagai suatu contoh terkenal tentang kompensasi diri organ inferiority adalah Demosthenes yang pada masa kecilnya menderita gagap (stutter) dan kemudian menjadi seorang orator terkemuka, suatu contoh lainnya adalah Theodore Roosevelt yang sakit-sakitan pada masa mudanya dan kemudian mengembangkan diri dengan suatu latihan yang sistematik menjadi seseorang yang memiliki fisik kuat dan tegap.

Singkatnya, setelah ia mempublisir monographnya tentang organ inferiority, Adler memperluas konsepnya dengan memasukkan setiap perasaan kekurangan yang mana timbul dari perasaan subyektif tentang ketidakmampuan psikologis ataupun sosial, sebagaimana halnya, hal itu muncul dari kelemahan tubuh atau cacat fisik. Pada waktu itu, Adler menyamakan inferiority dengan unmanlinnes atau femininitas, kompensasi terhadap hal ini disebut the masculine protest.

Kemudian ia mengsubordinasikan pandangan ini kepada prinsip umum bahwa suatu feeling of inferiority muncul dari perasaan ketidaksempurnaan atau ketidaklengkapan dalam setiap segi kehidupan. Sebagai contoh, seorang anak dimotivisir oleh perasaan rendah dirinya untuk berjuang mencapai level yang lebih tinggi dalam perkembangannya. Sewaktu ia mencapai level tersebut, ia mulai merasa inferior kembali dan peningkatanpun berulang lagi.

Adler bersikeras bahwa perasaan rendah diri bukanlah ciri-ciri abnormalitas, itu merupakan sebab dari semua usaha perbaikan diri. Sudah barang tentu perasaan-perasaan rendah diri dapat tercipta oleh kondisi khusus yang berlebihan, misalnya penolakan (rejecting) terhadap anak, di dalam kasus mana beberapa manifestasi abnormal akan terjadi, seperti perkembangannya kompleks rendah diri atau kompleks kompensasi akan superioritas. Namun dalam kehidupan yang normal, perasaan rendah diri ataupun perasaan akan ketidaklengkapan merupakan dorongan utama dari manusia. Dalam rumusan lain, dapat dikatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan mengatasi rendah dirinya dan oleh hasrat akan keunggulan (the desire to be superior). Adler bukanlah penganut hedonism. Walaupun ia percaya bahwa perasaan rendah diri adalah menyakitkan, ia tidak berpendapat bahwa pengurangan, hilangnya perasaan tersebut merupakan hal yang menyenangkan. Kesempurnaanlah yang menjadi tujuan hidup, bukan masalah kesenangan.

Minat-minat sosial (social interest).

Selama tahun-tahun permulaan teori-teorinya, saat ia mengumumkan tentang agresifitas, hausnya kekuasaan dari manusia dan ide tentang masculine protest sebagai suatu overkompensasi terhadap kelemahan feminitas, Adler mendapat kritik akan penekanannya terhadap dorongan-dorongan selfish dari manusia dan pengabdian akan motif-motif sosialnya. Striving for superiority mirip dengan tangisan perang dari supermennya Nietzhe, suatu kesesuaian dengan slogan Darwinian tentang survival of the fittest. Adler yang seorang pembela keadilan sosial dan pendukung demokrasi sosial, memperluas konsepsinya tentang manusia dengan memasukkan faktor minat-minat sosial (social interest, 1939) kendatipun minat-minat sosial meliputi masalah-masalah kerja sama, relasi interpersonal dan sosial, identifikasi terhadap kelompok, emphaty dan lain sebagainya, semua itu hanya garis besarnya saja.

Di dalam pengertian yang baru, maka minat-minat sosial mencakup bantuan, sumbangan individu terhadap masyarakatnya, guna pencapaian tujuan akan masyarakat yang sempurna. “Minat-minat sosial adalah suatu kebenaran dan merupakan kompensasi yang tak terelakkan untuk semua kelemahan-kelemahan alamiah dari individu manusia (Adler, 1929 b)”. Individu tak lepas dari konteks sosial sejak hari pertama kehidupannya. Kerjasama dimanifestasikan dalam hubungan antara bayi dan ibunya, dan dari situlah individu terus menerus terlibat di dalam suatu network dari relasi-relasi interpersonal, yang membentuk kepribadiannya serta memungkinkan hasratnya dalam mencapai keunggulan. Perjuangan mencapai keunggulan mulai socialized, ideal akan suatu masyarakat yang sempurna mengambil tempat sebagai ambisi, personal yang murni dan menghilangkan kepentingan pribadi. Dengan berbuat suatu kebaikan, manusia mengkompensasikan kelemahan-kelemahannya. Adler berkeyakinan bahwa minat-minat sosial tersebut merupakan hasil bawaan; manusia adalah makhluk sosial secara alamiah, bukan sebagai akibat kebiasaan. dan sama halnya dengan bakat-bakat alamiah lainnya, maka predisposisi bawaan inipun tidaklah muncul dengan sendirinya, namun lewat bimbingan dan latihan. Karena Adler percaya akan manfaat dari pendidikan, Adler menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun suatu klinik bimbingan anak, membuat perbaikan-perbaikan pada sekolah-sekolah, serta mendidik masyarakat lewat pengutamaan metode-metode mengasuh anak.

Menarik sekali untuk menelusuri tulisan-tulisan Adler dalam tahapan-tahapan mulai dari konsepnya tentang manusia dari kehidupan profesinya di tahun-tahun permulaan saat masih berhubungan dengan Freud, sampai belakangan waktu ia mencapai reputasi internasional. Bagi Adler semasa mudanya, manusia itu didorong oleh hasrat yang besar akan kekuasaan dan dominasi guna mengkompensir perasaan rendah dirinya. Sewaktu Adler berusia lanjut, maka menurut dia manusia itu dimotivisir oleh minat-minat sosial sebagai karunia bawaan, yang memberi image bahwa manusia yang sempurna tinggal dalam masyarakat yang sempurna; menghapus semua gambaran semua kekuasaan; manusia agresif yang mendominasi dan mengeksploitasi masyarakat. Dengan demikian, minat-minat sosial menggeser minat-minat selfish.

Gaya hidup (Style of life).

Ini adalah slogan dari teori kepribadian Adler, dan juga sebagai thema yang berulang kali muncul dalam tulisan-tulisan Adler (sebagai contoh, 1929 a, 1931) dan merupakan persembahan yang tersendiri dalam psikologi. Style of Life merupakan sistem prinsipiil, dimana kepribadian individu berfungsi, dan menjadi keseluruhan inti dari bagian-bagian. Style of Life merupakan prinsip idiographic dari Adler yang utama; sebagai prinsip yang menerangkan keunikan dari masing-masing individu. Setiap individu memiliki suatu Style of Life, tetapi tidak ada dua orang yang mengembangkan Style of Life yang sama.

Sesungguhnya apa pengertian dari konsep tersebut? Hal ini adalah suatu pertanyaan yang sulit dijawab karena Adler begitu sering mengucapkannya dan karena banyaknya pula perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan di dalam tulisan-tulisannya, sehingga sukar untuk membedakan dengan konsep Adler yang lain, yakni the creative self. Setiap individu memiliki goal yang sama, yaitu keunggulan atau superioritas, namun di situ tampak bermacam-macam cara dalam pencapaian goal tersebut. Seseorang mencoba untuk menjadi superior lewat pengembangan inteleknya, sementara yang lain memusatkan usahanya untuk mendapat susunan otot-otot yang sempurna. Sang intelektual memiliki suatu gaya hidup tersendiri, sang atlit memiliki gaya hidup  yang lain pula. Sang intelek banyak membaca, belajar, berfikir, ia hidup pada satu tempat danm enyendiri dibandingkan manusia lain yang aktif.

Ia menyusun detail-detail dari eksistensinya, kebiasaan-kebiasaan hidupnya, rekreasi, kerutinan sehari-hari, relasi dengan keluarganya, teman dan melakukan aktifitas-aktifitas sosialnya, sehubungan goalnya akan keunggulan intelektual. Setiap apa yang ia lakukan, dilakukannya sesuai apa pencapaian goalnya. Menurutnya, seluruh tingkah laku manusia didasari oleh Style of Life. Dalam ia mengamati, belajar, akan bersandar pada Style of Life yang dimiliki, dan mengabaikan hal-hal lain. Style of Life dibentuk pada awal masa kanak-kanak, kira-kira usia 4 atau 5 tahun, setelah itu pengalaman-pengalaman yang ada berasimilasi dan digunakan sesuai keunikan Style of Life tersebut. Sikap-sikap, perasaan-perasaan yang dimiliki mulai menetap dan dimekanisir pada awal-awal tahun. Setelah itu adalah tidak mungkin Style of Life tersebut berubah. Individu akan memperoleh cara-cara baru dalam mengekspresikan keunikan Style of Lifenya, namun semua itu nyata dan tetap merupakan bagian dari dasar yang sama dalam gaya yang ditemukan pada awal kehidupannya.

Apa yang menentukan Style of Life dari individu? Dalam tulisan-tulisan permulaan, Adler mengatakan bahwa hal itu sebagian besar ditentukan oleh specific inferiorities, baik yang fantastis ataupun yang sebenarnya ia miliki. The style of life merupakan kompensasi untuk particular inferiority. Apabila sang anak memiliki kelemahan fisik, maka style of life nya akan berbentuk penguatan hal tersebut secara fisik. Seorang anak pandai akan berjuang untuk meraih keunggulan intelektual. Napoleon mendapat Style of Life nya ditentukan oleh keadaan fisiknya, dan ketamakan Hitler untuk menguasai dunia disebabkan impotensi sexualnya. demikian contoh-contoh sederhana dari tindakan-tindakan manusia yang menarik bagi pembaca tulisan Adler diterapkan secara luas dalam ikhtiar menganalisa karakter selama tahun 1920-1930, yang sesungguhnya tidak memuaskan Adler sendiri. Ia beranggapan hal tersebut terlampau sederhana dan mekanistik. Ia mencari prinsip lain yang lebih dinamis dan menemukan konsep the creative self.

Aku yang kreatif (creative self).

Dengan konsep inilah Adler memperoleh gelar selaku teoritikus kepribadian. Saat ini menemukan kekuatan yang kreatif dari The Self, seluruh konsepnya disubordinasikan pada hal tersebut; ini merupakan penggerak utama landasan filosofis, penyebab pertama dari kemanusiaan yang dicari oleh Adler. Kesatuan, konsistensi, creative self merupakan  kedaulatan dari struktur kepribadian. Seperti halnya semua penyebab awal, kekuatan kreatif dari the self pun sulit untuk dideskripsikan. Kita dapat melihat hal tersebut memberi efek tertentu, namun kita tak dapat melihatnya. Hal itu merupakan sesuatu yang menyela (intervence) antara stimulus kepada individu dan respon-respon terhadap stimuli tersebut.

Secara hakiki, doktrin dari creative self menyatakan bahwa manusia menciptakan kepribadiannya sendiri. Mereka mengkonstruknya dari bahan-bahan bawaan dan pengalaman yang diperoleh. Heredity only endows him with certain abilities. Environtment only gives him certain empressions. These abilities and impressions and the manner in which he experiences then, tah it to say, the interpretation he makes of these experiences or in other words his attitude toward life, which determines this relationship to the outside world (Adler, 1935,p.5).

The creative self merupakan ragi (yeast) yang beraksi pada fakta-fakta di dunia dan mentransformasikan fakta-fakta tersebut pada kepribadiannya, yaitu subyektifitas, dinamika, unified, personal dan keunikan dalam style. The creative self memberi arti akan kehidupan, menciptakan goal sebaik akan arti dari goal tersebut. The creative self adalah prinsip aktif dari human life, dan ini tidak sama dengan konsep terdahulu tentang jiwa (soul).

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa rancangan teori humanistis dari Adler tentang kepribadian itu merupakan antithesa dari konsepsi Freud tentang individu. Dengan memberi konsep Altruism, kemanusiaan, kooperasi, kreatifitas, keunikan, dari awareness, maka Adler memuliakan manusia dan menyangkal psikoanalisa yang lebih menekankan pada perusakan. Dalam gambaran kesuraman yang mengerikan dan menjijikkan para pembaca Freud, Adler menyajikan gambaran manusia yang lebih berkenan, memuaskan dan jauh lebih terpuji. Konsep Adler tentang kepribadian sepakat dengan ide popular bahwa individu mampu menjadi tuan, dan bukan sebagai korban dari takdir belaka.

Characteristic Research and Research Methods

Observasi empiris dari Adler kebanyakan berasal dari sidang therapeutic dan mencakup hampir sebagian rekonstruksi masa lalu yang diingat oleh pasien, kemudian menaksir tingkah laku saat ini lewat cara percakapan-percakapan. Ada beberapa contoh dari Adler dalam aktifitas investigasinya tentang kepribadian. Investigasinya antara lain menggunakan konsep order of birth, early memories, childhood experiences, and personality.

Order Birth

Sealur dengan minatnya akan determinasi sosial dari personality, Adler mengobservasi bahwa personality dari anak tertua, penengah dan bungsu dalam suatu keluarga tampak berbeda sekali (1931). Ia memperkirakan perbedaan ini timbul akibat pengalaman yang berbeda, dimana setiap anak itu memiliki kelompok sosial tersendiri. Anak pertama mendapat perhatian penuh, sampai anak yang kedua lahir; kemudian mendadak tergeser dari posisi yang menyenangkan itu dan harus membagi kasih sayang dari orangtua dengan adiknya.  Pengalaman ini akan menyebabkan berbagai kondisi pada anak, disini dapat berupa perasaan benci pada orang tua atau merasa tidak aman. Anak tertua bisa juga mengambil interest di masa lampau; saat ia menjadi pusat perhatian. Neurotics, criminal, peminum dan perverts (sesat, merusak), sebagai hasil observasi Adler, nampak sering terjadi pada anak pertama. Apabila orang tua bertindak bijaksana dalam situasi tersebut, dengan mempersiapkan anak pertama akan kehadiran saingannya kelak, maka anak pertama itu akan berkembang menjadi orang yang bertanggung jawab, protective person. Anak kedua atau anak penengah memiliki ciri-ciri ambisius, selalu mencoba melewati sibling yang lebih tua. Juga memiliki kecenderungan pemberontak dan iri, namun paling tidak akan lebih adjusted dibandingkan anak tertua atau bungsu. Anak bungsu adalah anak ‘perampas’ bagi anak yang lebih tua, ia lebih menyerupai anak yang bermasalah dan dewasa yang neurotic maladjusted.

Kendatipun test-test permulaan dari Adler tentang teori birth order gagal untuk memperkuat atau mendukung kerja yang lebih sophisticated (cerdas & cermat), namun Schuceter (1959) dapat mengkonfirmasikan thesis Adler dan mampu mendapatkan subjek-subjek secara luar biasa dalam riset sebagai contoh. Suatu survey yang dilakukan oleh Vochel, Felker dan Milley (1973) memberi daftar 274 studi-studi tentang birth order yang dipublikasikan antara tahun 1967 sampai tahun 1972.

Early Memories

Adler merasa bahwa memori awal dari individu yang dapat dilaporkan merupakan kunci pokok dalam mengerti dasar dari suatu gaya hidup (1931). Sebagai contoh, seorang anak gadis mulai mengingat memori awalnya dengan mengatakan, “Ketika saya berusia tiga tahun, ayah saya …”. Ini merupakan indikasi bahwa ia lebih interest pada ayahnya daripada ibunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ayahnya membawa pulang ke rumah sepasang kuda pony untuk kakak perempuannya dan dia, kemudian kakaknya mengendarai kudanya di jalan, sementara ia terbenam dalam lumpur bersama kudanya. Ini adalah takdir bagi anak yang lebih muda – menjadi orang kedua di dalam persaingan dengan sibling yang lebih tua – dan hal ini memotivisir dia untuk mencoba melewatinya. Style of life-nya berupa dorongan ambisi, hasrat untuk menjadi nomor satu, perasaan tidak aman dan kecewa, dan bayangan kuat akan kegagalan.

Contoh lainnya, pemuda yang dihantui kecemasan, mengingat hal-hal demikian, “sewaktu saya berusia kira-kira 4 tahun, saya duduk di jendela dan memperhatikan beberapa pekerja bangunan di seberang jalan, sementara ibuku merajut”. Rekoleksi ini merupakan indikator bahwa sewaktu kanak-kanak ibunya adalah seorang pencemas. Kenyataan bahwa ia melihat orang lain yang bekerja menggambarkan bahwa style of life-nya lebih cenderung sebagai penonton daripada participant. Hal tersebut terungkap dalam kecemasan dia setiap mencoba mengambil suatu pekerjaan. Adler memberi saran untuk mencari pekerjaan yang lebih bersifat memeriksa dan mengobservasi. Pasien tersebut mengikuti advis Adler, dan menjadi seorang dealer yang sukses dalam obyek-obyek seni.

Childhood Experiences

Adler berminat sekali akan macam-macam pengaruh masa-masa permulaan yang menjadi predisposisi anak dalam suatu style of life yang salah. Ia menemukan tiga faktor penting :

Anak dengan inferioritas.
Spoiled children (anak manja)
Anak yang ditolak
Anak dengan kondisi fisik atau mental yang lemah akan memikul beban yang berat dan hampir-hampir memiliki perasaan inadekuat dalam menghadapi tuntutan hidup. Mereka berfikir bahwa dirinya akan selalu mengalami kegagalan-kegagalan, namun apabila mereka dapat mengerti, orang-orang tua mereka memberi semangat, maka mereka akan mengkompensasikan kekurangmampuan mereka dan merubah kelemahan menjadi suatu kekuatan. Banyak orang terkemuka memulai kehidupannya dengan kelemahan organis yang kemudian mereka mengkompensasikannya.

Adler selalu menekankan dengan sangat akan bahaya dari memanjakan, ia berfikir bahwa hal ini akan menimbulkan bencana bagi si anak. Anak yang dimanjakan tidak dapat mengembangkan perasaan sosial (social feeling), mereka akan menjadi penganiaya atau penjajah, yang mengharapkan masyarakat sesuai dengan keinginan pribadinya. Adler berpendapat bahwa mereka akan menjadi potensial, sebagai kelas yang sangat berbahaya dalam masyarakat.

Penolakan terhadap anak juga akan menimbulkan konsekuensi yang merugikan. Perlakuan yang buruk pada masa anak-anak, pada masa dewasanya akan menjadi musuh masyarakat. Gaya hidup mereka didominasi oleh kebutuhan akan balas dendam. Ketiga kondisi ini, yaitu kelemahan organis, pemanjaan dan penolakan akan menghasilkan konsep yang salah pada dunia dan akan menghasilkan gaya hidup yang pathologis.

(Winanti Siwi Respati_rangkuman dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar